BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada masa reproduksi, kebuntingan
merupakan salah satu bagian dalam proses produksi ternak. Menurut Frandson
(1992), bahwa kebuntingan merupakan
suatu keadaan di mana
anak sedang berkembang di dalam uterus seekor betina, suatu rentan waktu yang
disebut dengan periode kebuntingan yang terentang dari saat pembuahan
(fertilisasi) sampai lahirnya anak. Sedangkan kebuntingan dini merupakan suatu
kebuntingan yang bisa dideteksi sebelum terjadinya sapi tidak kembali minta
kawin (non return rate) atau bunting.
Dalam kinerja reproduksi, deteksi kebuntingan
merupakan salah satu masalah yang sering
dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (Inseminasi Buatan). Untuk itu diperlukan suatu metode
deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat, sehingga dapat
mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang sedang bunting. Saat ini deteksi
kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi rektal, dan kemungkinan yang tepat
dapat terjadi 2–3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan
bertambahnya umur kebuntingan. Dalam melakukan palpasi
rektal, tidak semua orang
bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang
tersebut. Namun ketersediaan orang–orang tersebut tidaklah merata di seluruh
daerah.
Di samping itu, deteksi kebuntingan
dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif
deteksi kebuntingan pada sapi pedaging.
Keunggulan metode ini adalah peternak
akan lebih cepat mengetahui
apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Sayuti (2011), bahwa pengambilan sampel urine
pada sapi yang telah diinseminasi buatan, sebulan
dan setelah dua bulan diinseminasi buatan tidak
berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan tetapi waktu yang cepat
dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat.
Menurut Partodihardjo (1987), bahwa asam sulfat dapat
digunakan untuk deteksi kebuntingan. Di dalam urine sapi yang
sedang bunting mengandung hormon
estrogen yang dihasilkan oleh plasenta menunjukan kebuntingan yang jelas. Uji kebuntingan dilakukan
dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat. Pemanfaatan fenomena
ini dapat digunakan sebagai indikator kebuntingan pada sapi pedaging.
Untuk itu, perlu adanya
penyuluhan mengenai metode deteksi kebuntingan pada sapi pedaging yang murah,
cepat dan mudah dengan cara mengunakan campuran urin dan bahan kimia asam
sulfat pekat (H2SO4) kepada para peternak yang memiliki peternakan
sapi pedaging, tetapi mereka tinggal di pelosok-pelosok desa yang jauh dari
perkotaan, sehingga mereka sulit untuk menjangkau dan mengakses informasi untuk
mengembangkan peternakannya, seperti yang dialami oleh para peternak sapi
pedaging di Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang.
1.2 Rumusan Masalah
Selama
ini pengetahuan, keterampilan dan keahlian para peternak di Desa Ngadirejo
Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang terhadap deteksi kebuntingan sapi pedaging
masih rendah, meskipun populasi sapi pedaging di Desa tersebut cukup besar. Hal
itu disebabkan karena letak wilayahnya yang jauh dari perkotaan, sehingga para
peternak sulit untuk menjangkau dan mengakses informasi untuk dapat
mengembangkan peternakannya. Para peternak hanya menunggu 2 hingga 3 bulan
setelah sapi pedagingnya mereka inseminasikan untuk mengetahui bunting atau
tidaknya sapi pedaging milik mereka. Waktu yang cukup lama tersebut, yaitu 2
hingga 3 bulan hanya akan membuang waktu sia-sia tanpa membuahkan hasil.
Padahal waktu 2 hingga 3 bulan tersebut dapat diefisiensikan untuk mengawinkan
kembali sapi pedaging milik mereka yang tidak bunting, sehingga sapi pedaging
tersebut semakin bertambah dengan waktu yang singkat.
1.3 Tujuan
Kegiatan
penyuluhan ini bertujuan untuk menginformasikan konsep deteksi kebuntingan
menggunakan asam sulfat pekat dan urine pada sapi pedaging, cara pembuatan
cairan kimiawi dari asam sulfat pekat dan urine untuk mendeteksi kebuntingan
pada sapi pedaging, prinsip kerja asam sulfat pekat dan urine, cara kerja dalam
mendeteksi kebuntingan pada sapi pedaging menggunakan asam sulfat pekat dan
urine, serta kelebihan dan kekurangan dari deteksi kebuntingan menggunakan asam
sulfat pekat dan urine pada sapi pedaging di Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan
Kabupaten Malang sebagai solusi untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi pedaging
dengan waktu yang relatif singkat, mudah dan murah untuk didapatkan.
1.4 Manfaat
Setelah
penyuluhan tentang deteksi kebuntingan pada sapi pedaging menggunakan asam
sulfat pekat dan urine diharapkan dapat membentuk keterampilan dan keahlian
para peternak untuk mendeteksi kebuntingan sapi pedaging di Desa Ngadirejo
Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang.
BAB
II
GAMBARAN
UMUM PENYULUHAN
2.1
Gambaran Umum Kegiatan Penyuluhan
Kromengan merupakan salah satu daerah dari 33 kecamatan
di wilayah Kabupaten Malang. Secara astronomis Kecamatan Kromengan Malang
terletak diantara 112, 2776 sampai 112, 3231 Bujur Timur dan 8,0882 sampai
8,0567 Lintang Selatan (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Malang, 2013).
Kecamatan Kromengan memiliki populasi dan produksi dalam sub sektor
peternakan yang lumayan banyak, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Komoditas ternak
yang dibudidayakan di Kecamatan Kromengan pada umumnya dapat dibedakan menjadi
ternak besar, ternak kecil dan ungas.
Tabel 1. Jumlah Populasi Ternak di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang Tahun
2008-2011.
Jenis Ternak
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
1. Ternak besar
|
|
|
|
|
Sapi perah
|
8
|
5
|
18
|
23
|
Sapi pedaging
|
2447
|
2479
|
1540
|
2796
|
Kerbau
|
39
|
39
|
61
|
87
|
Kuda
|
28
|
28
|
12
|
10
|
2. Ternak kecil
|
|
|
|
|
Kambing
|
6184
|
6227
|
6707
|
6938
|
Domba
|
1086
|
1102
|
343
|
389
|
3. unggas
|
|
|
|
|
Ayam buras
|
25322
|
25908
|
23500
|
26260
|
Ayam petelur
|
65065
|
65400
|
97500
|
97760
|
Ayam pedaging
|
65065
|
65400
|
93542
|
114950
|
Itik
|
2200
|
2205
|
5306
|
5305
|
Entok
|
912
|
912
|
157
|
280
|
Burung puyuh
|
2500
|
2500
|
4700
|
3550
|
Sumber
: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013.
Jumlah populasi
sapi yang banyak mewajibkan kami selaku petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten
Malang melakukan penyuluhan di Kecamatan Kromengan khususnya di Desa Ngadirejo. Karena populasi sapi potong yang banyak dan
lokasi desa ini termasuk kedalam desa yang berada dipinggiran maka informasi
mengenai perkembangan teknologi dibidang peternakan sangatlah kurang. Padahal
informasi ini sangatlah penting untuk melakukan pemeliharaan dan management ternak
sapi khususnya dalam hal reproduksi. Salah satu manajemen reproduksi yang perlu
ditingkatkan adalah untuk menghasilkan bibit yang banyak dan berkualitas
sehingga secara tidak langsung akan membantu terpenuhinya kebutuhan daging
dikawasan malang raya, yang kita ketahui bahwa di daerah malang memiliki
konsumsi akan daging yang tinggi.
Dalam proses reproduksi hal yang
harus diperhatikan pasca perkawinan baik alami atau pun secara buatan (IB) adalah
deteksi kebuntungan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya calving interval
yang panjang, karena pada umumnya calving interval yang sering terjadi selama
ini cukup panjang, bahkan mencapai 18 bulan smapai 2 tahun. Menurut Nugroho
(2008), Calving interval atau jarak beranak merupakan jumlah hari atau bulan
atara kelahiran yang satu dengan kelahiran berikutnya, dan selang beranak ini
optimumnya 12 sampai 13 bulan. Dan yang terjadi di daerah Kecamatan Kromengan
Kabupaten malang rata-rata calving interval nya diatas 18 bulan. Oleh sebab itu
untuk menghindari calving interval yang panjang yang berdampak pada
meningkatnya biaya dalam manajemen reproduksi maka dilakukan upaya
deteksi kebuntingan sedini mungkin dengan cara yang mudah, cepat, tepat, dan
biaya yang murah.
Deteksi
kebuntingan dengan urine dan asam sulfat (H2SO4)
Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu
masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi
buatan. Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya
mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap
ternak betina yang bunting tersebut. Pemeriksaan sendiri mungkin sangat
diperlukan.
Metode diagnosis yang populer pada sapi adalah palpasi rektal. Aplikasi
metode ini sulit diterapkan karena butuh keahlian dan pengalaman yang cukup
serta risiko yang ditimbulkan jika dilakukan dengan penanganan yang kurang
baik. Pada level lapangan, jumlah tenaga untuk aplikasi metode ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari suatu solusi alternatif sehingga
ditemukan suatu metode yang ideal yang dapat diaplikasikan pada sapi masyarakat.
Dasar teoritis pemeriksaan urine ini adalah terdapatnya hormon estrogen
pada sapi bunting yang disekresikan melalui urin. Hormon estrogen tersebut
berasal dari plasenta. Ketika dicampur dengan asam sulfat, maka estrogen
tersebut akan dibakar sehingga terbnetuk fluoresensi warna. Aplikasi metode ini
sangat sederhana dan memenuhi syarat syarat ideal untuk diagnosis kebuntingan sehingga
sangat tepat untuk diaplikasikan pada level peternak.
2.2 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Masyarakat yang ada di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang, dengan
jumlah penduduk sebanyak 38.934 jiwa mayoritas masyaratkanya memeiliki mata
pencaharian sebagai petani dan peternak. Keadaan populasi dan produksi mengenai
sub sektor peternakan di Kecamatan Kromengan dapat dilihat pada Tabel 1.
Komoditas ternak pada umumnya dapat dibedakan menjadi ternak besar, ternak
kecil dan ungas. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah ternak besar
khususnya sapi potong mengalami peningkatan sebesar 1.256 ekor disbanding tahun
sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya peternakan sapi potong yang banyak, baik
dalam skala kecil atau pun sedang. Para peternak ini merupakan sasaran utama
kami sebagai penyuluh dari Dinas Peternakan Kabupaten Malang.
Karena banyaknya populasi sapi pedaging yang tidak di imbangi dengan
adanya manajemen reproduksi yang baik seperti adanya calving interval yang panjang
mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi peternak tanpa mereka sadari.
Kemungkinan penyebab dari adanya problem
solving ini adalah karena Kecamatan kromengan berada di daerah malang
selatan yang jauh akan kota, serta bilamana ada inovasi dibidang peternakan
maka para peternak kurang dapat mengakses informasi tersebut. Sehingga diperlukan
adanya inovasi yang dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan
pendapatan, serta kualitas dan kuantitas ternak yang ada di Kecamatan Kromengan
dengan adanya inovasi dibidang reproduksi peternakan.
BAB III
METODE PENYULUHAN
3.1
Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan program penyuluhan dilakukan dengan cara
metode konservasi komunikasi, yang dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu tahap
persiapan awal kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap evaluasi, serta
laporan akhir.
Persiapan Kegiatan
Sebelum
masuk dalam tahap pelaksanaan terdapat beberapa persiapan- persiapan yang
harus dilakukan untuk menciptakan program penyuluhan yang efektif dan efisien
serta mampu mempertahankan hasil program penyuluhan secara optimal.
Persiapan-persiapan tersebut antara lain proses perijinan kepada masyarakat
sasaran dan pendataan melalui pendekatan sosial. Perijinan dimulai dari Instansi
tertinggi seperti Camat, lalu Kepala Desa,
dan yang terakhir ketua kelompok tani/ternak Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan
Kabupaten Malang. Pelaksanaan
Kegiatan
Setelah memperoleh ijin dari Instansi
tertinggi seperti Camat, lalu Kepala
Desa, dan yang terakhir ketua kelompok tani/ternak Desa Ngadirejo Kecamatan
Kromengan Kabupaten Malang serta diperoleh data calon peserta diprogram
penyuluhan ini, maka dilaksanakan sosialisasi program penyuluhan tentang Deteksi
Kebuntingan Pada Sapi Potong Menggunakan Asam Sulfat Pekat dan Urine di Desa
Ngadirejo Kec.Kromengan Kab.Malang.
Di daerah tersebut diketahui bahwa
populasi komoditas peternakan yang paling banyak adalah sapi potong/sapi
pedaging. Hal itu berarti sapi potong/pedaging yang merupakan salah
satu pusat untuk pengembangan teknologi tentang deteksi kebuntingan. Deteksi
kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi
sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi.Mengetahui bahwa ternaknya bunting atau
tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting
bagi manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Selanjutnya dibuat kesepakatan
mengenai waktu pelaksanaan program penyuluhan. Metode penyuluhan berdasarkan
hubungan penyuluh dengan sasaran dapat dilakukan dengan komunikasi langsung dan
komunikasi tidak langsung. Seorang penyuluh melakukan kunjungan dengan
pendekatan secara kelompok dari petani ternak di desa tersebut. Penyuluhan ini
menjelaskan strategi pokok kepada sasaran peternak bahwa deteksi kebuntingan
dengan asam sulfat pekat dan urine sangat efisien dan efektif untuk diterapkan
pada sapi potong/pedaging yang berada di Desa Ngadirejo Kec.Kromengan
Kab.Malang khususnya.
2.3
Gambaran Teknologi
Prinsip dari metode ini menurut
Partodihardjo (1987), bahwa dengan penambahan larutan 2 ml urine dan 10 ml
aquadest kemudian dibakar dengan 15 ml asam sulfat pekat akan menimbulkan gas fluorescence
di permukaan cairan. Gas tersebut timbul karena adanya hormon esterogen di
dalam urine. Hormon estrogen diproduksi jika seekor ternak telah mengalami
perkawinan dan berada pada proses kebuntingan. Ditambah oleh Illawati (2009),
penggunaan volume asam sulfat pekat 0.5 ml yang lebih efektif untuk deteksi
kebuntingan. Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang
berubah dari kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang
jelas. Melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan volume asam sulfat pekat
(H2SO4) yang lebih efisien dan lebih ekonomis dari segi harga, uji kebuntingan
dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat.
Materi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sampel urine sapi yang berasal dari betina yang telah diinseminasi
buatan. Sampel urine sapi diambil pada pagi hari. Bahan kimia yang digunakan
adalah Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan aquadest. Alat yang dipakai adalah tabung
reaksi, gelas ukur, gelas kimia, pipet tetes, batang pengaduk, tang jepit, tisu
gulung, alat tulis dan stopwatch.
Prosedur kerja
dalam melakukan deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan Asam
Sulfat (H2SO4):
a. Persiapan Peralatan
Semua
peralatan yang diperlukan dibersihkan. Peralatan dibilas dengan air bersih dan
aquadest kemudian dikeringkan.
b. Penampungan Urine
Pengambilan
urine dilakukan pada pagi hari (06.30-10.00 WIB). Urine langsung ditampung
dengan menggunakan alat yang tersedia yaitu gelas ukur.
c. Membuat Larutan Urine dan Aquadest
Untuk
membuat larutan, urine diambil sebanyak 3 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kemudian ditambah 15 ml aquadest dan larutan dicampur sehomogen mungkin.
Kemudian larutan dipindahkan ke dalam 15 tabung reaksi yang lain sebanyak 1 ml
pertabung reaksi.
d.
Pembakaran / Penambahan Larutan dengan Asam Sulfat pekat (H2SO4)
Dimana
reaksi ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas fluorencscence dari
dasar tabung dan terjadinya perubahan warna larutan dari kuning muda menjadi
biru keungguan apabila sapi bunting. Menurut Sayuti dkk (2011), hasil positif
(+) akan memperlihatkan adanya zat
fluoresen warna hijau di permukaan cairan sedang hasil negative (-) tidak
memperlihatkan zat warna fluoresen.
Menurut Wahyu (2012), Penggunaan Asam
Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan
dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama
(25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam
Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari
ke-22 setelah diinseminasi.
Metode diagnosis kebuntingan dengan
menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dapat dilakukan
sendiri oleh peternak karena lebih praktis, cepat dan tidak membutuhkan
keahlian khusus sehingga dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Menurut
Hunter (1995) metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah
dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi
dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.
Jika terjadi kegagalan kebuntingan
ini dapat disebabkan oleh kematian embrio dini sebagaimana pendapat Hardjoprajonto
(1995) bahwa kematian embrio dini pada sapi dapat mencapai 20-30%, persentase
terbesar dapat terjadi pada 6-42 hari setelah diinseminasi. Kematian embrio
dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 42
hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak serasi
atau kekurangan pakan.
Partodihardjo (1992) menyatakan adanya
ternak sapi yang minta kawin kembali disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
peternak dalam mendeteksi berahi sehingga inseminasi dilakukan tidak tepat pada
waktunya, kesalahan dalam pelaksanaan IB yang tidak sesuai dengan prosedur
serta rendahnya kesuburan hewan betina yang diinseminasi.
Kelebihan dan
Kekurangan Metode Deteksi Kebuntingan
dengan Campuran Urine dan Asam Sulfat (H2SO4)
Di samping itu deteksi kebuntingan dini
secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi.
Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang
sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Rosalin
(2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah
dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu
dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Hal ini diperkuat
oleh pendapat dari Wahyu (2012), bahwa penggunaan Asam Sulfat (H2SO4)
pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada
sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan
dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4)
pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.
Jadi dapat dikatakan bahwa dengan
penggunaan metode ini deteksi kebuntingan akan cepat karena dalam waktu 22 hari
setelah dilakukan IB dapat dilakukan uji ini, sedangkan deteksi kebuntingan
yang umum dilakukan sekarang adalah dengan palpasi per rektal yang dapat
dilakukan 2-3 bulan setelah diinseminasi. Keuntungan lain adalah terjagkau
untuk kalangan peternak karena tidak membutuhkan bahan yang banyak dan biaya
yang mahal. Serta tidak membutuhkan keahlian khusus seperti palpasi rektal
karena dapat diterapkan pada peternakan rakyat dimana peternaka dapat melakukan
sendiri. Dan telah teruji secara tepat serta akurat, bahwa menurut Hunter
(1995), metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah
dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi
dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.
3.3 Jadwal Kegiatan
Tabel 2. Jadwal
Kegiatan Penyuluhan di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang
Kegiatan
|
Bulan I
|
Bulan II
|
Bulan III
|
Bulan IV
|
||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Persiapan awal
|
||||||||||||||||
Survey lapang dan
study literatur
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengamatan pada
masyarakat sasaran
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menyiapkan sarana
prasarana
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pembuatan variasi pola
penyuluhan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pembuatan gambaran
teknologi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pelaksanaan kegiatan
|
||||||||||||||||
Penyebaran publikasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pendataan peternak
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pelatihan pada
masyarakat sasaran
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengaplikasian inovasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Rapat evaluasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pelaksanaan hasil
evaluasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Laporanakhir
|
||||||||||||||||
Pembuatan laporan
akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Presentasi
|
3.3 Media Penyuluhan
Media penyuluhan yang digunakan
dalam penyuluhan ini adalah sebagai berikut.
a)
Flip Chart
Media
ini digunakan untuk menjelaskan rencana strategis deteksi kebuntingan
menggunakan campuran urine dan asam pekat sebagai upaya dalam mengoptimalisasi
biaya dalam manajemen reproduksi. Dimana petani dan perternak di Desa Nagdirejo
Kec. Kromengan sebagai sasaran utama dalam penyuluhan ini. Dalam flip chart ini
berisi penjelasan gambaran teknologi yang digunakan dalam prosedur deteksi
kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam sulfat serta pemaparan mengenai
siklus reproduksi sehingga manajemen reproduksi berjalan dengan baik.
b)
Audio Visual
Menyampaikan
pesan atau informasi kepada sasaran utama yakni peternak dan calon peternak dengan
menggunakan slide presentasi sehingga diharapkan sasaran akan lebih mudah dapat
menerapkan pesan dengan kebutuhanya. Dan kami juga menyertakan video dalam
proses deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam sufat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang.
2013. Data Kecamatan Kromengan, Malang, Jawa Timur.
Diakses pada tanggal 27 April 2013. http://bps.blogspot.com/2013/05/bps-data-kecamatan-kromengan-malang
.html
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Jumlah Populasi Ternak di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang.
Diakses pada tanggal 27 April 2013. http://peternakan.malangkab.go.id/
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajahmada University Press.
Yogyakarta.
Hardjopranoto, S. 1992. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.
Hunter, R H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi reproduksi Hewan
Betina Domestik. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Iliawati, R. 2009. Efektifitas Penggunaan Berbagai Volume Asam Sulfat Pekat untuk Menguji
Kandungan Esterogen dalam Urine Sapi Brahman Cross Bunting. Skripsi.
Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian. Sijunjung.
Nugroho, C Priyo. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Klaten:
Macanan Jaya Cemerlang
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta
Sayuti, Herrialfian, T.
Armansyah, Syafruddin, Dan Tongku Nizwan Siregar. 2012.
Penentuan Waktu Terbaik Pada Pemeriksaan Kimia Urin Untuk
Diagnosis Kebuntingan Dini Pada Sapi Lokal. Jurnal Kedokteran Hewan. vol. 5 No. 1. ISSN : 1978-225X. Maret 2012.
Wahyu, Illawati,
Suardi, dan Jaswandi. 2012. Efektifitas
Dan Akurasi Penggunaan Berbagai Dosis Asam Sulfat (H2so4) Pekat Dibandingkan
Palpasi Per Rektal Terhadap Uji Kebuntingan Ternak Sapi. Program
Pascasarjana Ilmu Ternak Universitas Andalas.
semoga bermanfaat bagi teman-teman
BalasHapus