Kamis, 08 Mei 2014

INOVASI KAMI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada masa reproduksi, kebuntingan merupakan salah satu bagian dalam proses produksi ternak. Menurut Frandson (1992), bahwa kebuntingan merupakan suatu keadaan di mana anak sedang berkembang di dalam uterus seekor betina, suatu rentan waktu yang disebut dengan periode kebuntingan yang terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) sampai lahirnya anak. Sedangkan kebuntingan dini merupakan suatu kebuntingan yang bisa dideteksi sebelum terjadinya sapi tidak kembali minta kawin (non return rate) atau bunting.
Dalam kinerja reproduksi, deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (Inseminasi Buatan). Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat, sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang sedang bunting. Saat ini deteksi kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi rektal, dan kemungkinan yang tepat dapat terjadi 2–3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Dalam melakukan palpasi rektal, tidak semua orang bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang tersebut. Namun ketersediaan orang–orang tersebut tidaklah merata di seluruh daerah.
Di samping itu, deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi pedaging. Keunggulan metode ini adalah peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Sayuti (2011), bahwa pengambilan sampel urine pada sapi yang telah diinseminasi buatan, sebulan dan setelah dua bulan diinseminasi buatan tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat.
Menurut Partodihardjo (1987), bahwa asam sulfat dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan. Di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon estrogen yang dihasilkan oleh plasenta menunjukan kebuntingan yang jelas. Uji kebuntingan dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat. Pemanfaatan fenomena ini dapat digunakan sebagai indikator kebuntingan pada sapi pedaging.
Untuk itu, perlu adanya penyuluhan mengenai metode deteksi kebuntingan pada sapi pedaging yang murah, cepat dan mudah dengan cara mengunakan campuran urin dan bahan kimia asam sulfat pekat (H2SO4) kepada para peternak yang memiliki peternakan sapi pedaging, tetapi mereka tinggal di pelosok-pelosok desa yang jauh dari perkotaan, sehingga mereka sulit untuk menjangkau dan mengakses informasi untuk mengembangkan peternakannya, seperti yang dialami oleh para peternak sapi pedaging di Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang.

1.2 Rumusan Masalah
   Selama ini pengetahuan, keterampilan dan keahlian para peternak di Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang terhadap deteksi kebuntingan sapi pedaging masih rendah, meskipun populasi sapi pedaging di Desa tersebut cukup besar. Hal itu disebabkan karena letak wilayahnya yang jauh dari perkotaan, sehingga para peternak sulit untuk menjangkau dan mengakses informasi untuk dapat mengembangkan peternakannya. Para peternak hanya menunggu 2 hingga 3 bulan setelah sapi pedagingnya mereka inseminasikan untuk mengetahui bunting atau tidaknya sapi pedaging milik mereka. Waktu yang cukup lama tersebut, yaitu 2 hingga 3 bulan hanya akan membuang waktu sia-sia tanpa membuahkan hasil. Padahal waktu 2 hingga 3 bulan tersebut dapat diefisiensikan untuk mengawinkan kembali sapi pedaging milik mereka yang tidak bunting, sehingga sapi pedaging tersebut semakin bertambah dengan waktu yang singkat.

1.3 Tujuan
   Kegiatan penyuluhan ini bertujuan untuk menginformasikan konsep deteksi kebuntingan menggunakan asam sulfat pekat dan urine pada sapi pedaging, cara pembuatan cairan kimiawi dari asam sulfat pekat dan urine untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi pedaging, prinsip kerja asam sulfat pekat dan urine, cara kerja dalam mendeteksi kebuntingan pada sapi pedaging menggunakan asam sulfat pekat dan urine, serta kelebihan dan kekurangan dari deteksi kebuntingan menggunakan asam sulfat pekat dan urine pada sapi pedaging di Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang sebagai solusi untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi pedaging dengan waktu yang relatif singkat, mudah dan murah untuk didapatkan.

1.4 Manfaat
   Setelah penyuluhan tentang deteksi kebuntingan pada sapi pedaging menggunakan asam sulfat pekat dan urine diharapkan dapat membentuk keterampilan dan keahlian para peternak untuk mendeteksi kebuntingan sapi pedaging di Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang.




BAB II
GAMBARAN UMUM PENYULUHAN

2.1 Gambaran Umum Kegiatan Penyuluhan
Kromengan merupakan salah satu daerah dari 33 kecamatan di wilayah Kabupaten Malang. Secara astronomis Kecamatan Kromengan Malang terletak diantara 112, 2776 sampai 112, 3231 Bujur Timur dan 8,0882 sampai 8,0567 Lintang Selatan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2013). Kecamatan Kromengan memiliki populasi dan produksi dalam sub sektor peternakan yang lumayan banyak, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Komoditas ternak yang dibudidayakan di Kecamatan Kromengan pada umumnya dapat dibedakan menjadi ternak besar, ternak kecil dan ungas.
Tabel 1. Jumlah Populasi Ternak  di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang Tahun 2008-2011.
Jenis Ternak
2008
2009
2010
2011
1.  Ternak besar




Sapi perah
8
5
18
23
Sapi pedaging
2447
2479
1540
2796
Kerbau
39
39
61
87
Kuda
28
28
12
10
2. Ternak kecil




Kambing
6184
6227
6707
6938
Domba
1086
1102
343
389
3. unggas




Ayam buras
25322
25908
23500
26260
Ayam petelur
65065
65400
97500
97760
Ayam pedaging
65065
65400
93542
114950
Itik
2200
2205
5306
5305
Entok
912
912
157
280
Burung puyuh
2500
2500
4700
3550
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013.
Jumlah populasi sapi yang banyak mewajibkan kami selaku petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten Malang melakukan penyuluhan di Kecamatan Kromengan khususnya di Desa Ngadirejo. Karena populasi sapi potong yang banyak dan lokasi desa ini termasuk kedalam desa yang berada dipinggiran maka informasi mengenai perkembangan teknologi dibidang peternakan sangatlah kurang. Padahal informasi ini sangatlah penting untuk melakukan pemeliharaan dan management ternak sapi khususnya dalam hal reproduksi. Salah satu manajemen reproduksi yang perlu ditingkatkan adalah untuk menghasilkan bibit yang banyak dan berkualitas sehingga secara tidak langsung akan membantu terpenuhinya kebutuhan daging dikawasan malang raya, yang kita ketahui bahwa di daerah malang memiliki konsumsi akan daging yang tinggi.  
Dalam proses reproduksi hal yang harus diperhatikan pasca perkawinan baik alami atau pun secara buatan (IB) adalah deteksi kebuntungan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya calving interval yang panjang, karena pada umumnya calving interval yang sering terjadi selama ini cukup panjang, bahkan mencapai 18 bulan smapai 2 tahun. Menurut Nugroho (2008), Calving interval atau jarak beranak merupakan jumlah hari atau bulan atara kelahiran yang satu dengan kelahiran berikutnya, dan selang beranak ini optimumnya 12 sampai 13 bulan. Dan yang terjadi di daerah Kecamatan Kromengan Kabupaten malang rata-rata calving interval nya diatas 18 bulan. Oleh sebab itu untuk menghindari calving interval yang panjang yang berdampak pada meningkatnya biaya dalam manajemen reproduksi maka dilakukan upaya deteksi kebuntingan sedini mungkin dengan cara yang mudah, cepat, tepat, dan biaya yang murah.
Deteksi kebuntingan dengan urine dan asam sulfat (H2SO4)
Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi buatan. Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang bunting tersebut. Pemeriksaan sendiri mungkin sangat diperlukan.
Metode diagnosis yang populer pada sapi adalah palpasi rektal. Aplikasi metode ini sulit diterapkan karena butuh keahlian dan pengalaman yang cukup serta risiko yang ditimbulkan jika dilakukan dengan penanganan yang kurang baik. Pada level lapangan, jumlah tenaga untuk aplikasi metode ini sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari suatu solusi alternatif sehingga ditemukan suatu metode yang ideal yang dapat diaplikasikan pada sapi masyarakat. Dasar teoritis pemeriksaan urine ini adalah terdapatnya hormon estrogen pada sapi bunting yang disekresikan melalui urin. Hormon estrogen tersebut berasal dari plasenta. Ketika dicampur dengan asam sulfat, maka estrogen tersebut akan dibakar sehingga terbnetuk fluoresensi warna. Aplikasi metode ini sangat sederhana dan memenuhi syarat syarat ideal untuk diagnosis kebuntingan sehingga sangat tepat untuk diaplikasikan pada level peternak.
2.2 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Masyarakat yang ada di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang, dengan jumlah penduduk sebanyak 38.934 jiwa mayoritas masyaratkanya memeiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Keadaan populasi dan produksi mengenai sub sektor peternakan di Kecamatan Kromengan dapat dilihat pada Tabel 1. Komoditas ternak pada umumnya dapat dibedakan menjadi ternak besar, ternak kecil dan ungas. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah ternak besar khususnya sapi potong mengalami peningkatan sebesar 1.256 ekor disbanding tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya peternakan sapi potong yang banyak, baik dalam skala kecil atau pun sedang. Para peternak ini merupakan sasaran utama kami sebagai penyuluh dari Dinas Peternakan Kabupaten Malang.
Karena banyaknya populasi sapi pedaging yang tidak di imbangi dengan adanya manajemen reproduksi yang baik seperti adanya calving interval yang panjang mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi peternak tanpa mereka sadari. Kemungkinan penyebab dari adanya problem solving ini adalah karena Kecamatan kromengan berada di daerah malang selatan yang jauh akan kota, serta bilamana ada inovasi dibidang peternakan maka para peternak kurang dapat mengakses informasi tersebut. Sehingga diperlukan adanya inovasi yang dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan, serta kualitas dan kuantitas ternak yang ada di Kecamatan Kromengan dengan adanya inovasi dibidang reproduksi peternakan.

BAB III
METODE PENYULUHAN
3.1 Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan program penyuluhan dilakukan dengan cara metode konservasi komunikasi, yang dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu tahap persiapan awal kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap evaluasi, serta laporan akhir.
Persiapan Kegiatan
Sebelum masuk dalam tahap pelaksanaan terdapat beberapa persiapan- persiapan yang harus dilakukan untuk menciptakan program penyuluhan yang efektif dan efisien serta mampu mempertahankan hasil program penyuluhan secara optimal. Persiapan-persiapan tersebut antara lain proses perijinan kepada masyarakat sasaran dan pendataan melalui pendekatan sosial. Perijinan dimulai dari Instansi tertinggi seperti  Camat, lalu Kepala Desa, dan yang terakhir ketua kelompok tani/ternak Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang. Pelaksanaan Kegiatan
Setelah memperoleh ijin dari Instansi tertinggi seperti  Camat, lalu Kepala Desa, dan yang terakhir ketua kelompok tani/ternak Desa Ngadirejo Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang serta diperoleh data calon  peserta diprogram penyuluhan ini, maka dilaksanakan sosialisasi program  penyuluhan tentang Deteksi Kebuntingan Pada Sapi Potong Menggunakan Asam Sulfat Pekat dan Urine di Desa Ngadirejo Kec.Kromengan Kab.Malang.
Di daerah tersebut diketahui bahwa populasi komoditas peternakan yang paling banyak adalah sapi potong/sapi pedaging. Hal itu berarti sapi potong/pedaging yang merupakan salah satu pusat untuk pengembangan teknologi tentang deteksi kebuntingan. Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi.Mengetahui bahwa ternaknya bunting atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Selanjutnya dibuat kesepakatan mengenai waktu pelaksanaan program penyuluhan. Metode penyuluhan berdasarkan hubungan penyuluh dengan sasaran dapat dilakukan dengan komunikasi langsung dan komunikasi tidak langsung. Seorang penyuluh melakukan kunjungan dengan pendekatan secara kelompok dari petani ternak di desa tersebut. Penyuluhan ini menjelaskan strategi pokok kepada sasaran peternak bahwa deteksi kebuntingan dengan asam sulfat pekat dan urine sangat efisien dan efektif untuk diterapkan pada sapi potong/pedaging yang berada di Desa Ngadirejo Kec.Kromengan Kab.Malang khususnya.

2.3 Gambaran Teknologi
Prinsip dari metode ini menurut Partodihardjo (1987), bahwa dengan penambahan larutan 2 ml urine dan 10 ml aquadest kemudian dibakar dengan 15 ml asam sulfat pekat akan menimbulkan gas fluorescence di permukaan cairan. Gas tersebut timbul karena adanya hormon esterogen di dalam urine. Hormon estrogen diproduksi jika seekor ternak telah mengalami perkawinan dan berada pada proses kebuntingan. Ditambah oleh Illawati (2009), penggunaan volume asam sulfat pekat 0.5 ml yang lebih efektif untuk deteksi kebuntingan. Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan volume asam sulfat pekat (H2SO4) yang lebih efisien dan lebih ekonomis dari segi harga, uji kebuntingan dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel urine sapi yang berasal dari betina yang telah diinseminasi buatan. Sampel urine sapi diambil pada pagi hari. Bahan kimia yang digunakan adalah Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan aquadest. Alat yang dipakai adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas kimia, pipet tetes, batang pengaduk, tang jepit, tisu gulung, alat tulis dan stopwatch.
Prosedur kerja dalam melakukan deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan Asam Sulfat (H2SO4):
a.  Persiapan Peralatan
Semua peralatan yang diperlukan dibersihkan. Peralatan dibilas dengan air bersih dan aquadest kemudian dikeringkan.
b.  Penampungan Urine
Pengambilan urine dilakukan pada pagi hari (06.30-10.00 WIB). Urine langsung ditampung dengan menggunakan alat yang tersedia yaitu gelas ukur.
c.  Membuat Larutan Urine dan Aquadest
Untuk membuat larutan, urine diambil sebanyak 3 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 15 ml aquadest dan larutan dicampur sehomogen mungkin. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam 15 tabung reaksi yang lain sebanyak 1 ml pertabung reaksi.
d. Pembakaran / Penambahan Larutan dengan Asam Sulfat pekat (H2SO4)
Dimana reaksi ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas fluorencscence dari dasar tabung dan terjadinya perubahan warna larutan dari kuning muda menjadi biru keungguan apabila sapi bunting. Menurut Sayuti dkk (2011), hasil positif (+)  akan memperlihatkan adanya zat fluoresen warna hijau di permukaan cairan sedang hasil negative (-) tidak memperlihatkan zat warna fluoresen.
Menurut Wahyu (2012), Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.
Metode diagnosis kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dapat dilakukan sendiri oleh peternak karena lebih praktis, cepat dan tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Menurut Hunter (1995) metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.
Jika terjadi kegagalan kebuntingan ini dapat disebabkan oleh kematian embrio dini sebagaimana pendapat Hardjoprajonto (1995) bahwa kematian embrio dini pada sapi dapat mencapai 20-30%, persentase terbesar dapat terjadi pada 6-42 hari setelah diinseminasi. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 42 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak serasi atau kekurangan pakan.
Partodihardjo (1992) menyatakan adanya ternak sapi yang minta kawin kembali disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam mendeteksi berahi sehingga inseminasi dilakukan tidak tepat pada waktunya, kesalahan dalam pelaksanaan IB yang tidak sesuai dengan prosedur serta rendahnya kesuburan hewan betina yang diinseminasi.


Kelebihan dan Kekurangan Metode Deteksi Kebuntingan dengan Campuran Urine dan Asam Sulfat (H2SO4)
Di samping itu deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi. Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Rosalin (2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan  tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Wahyu (2012), bahwa penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.
Jadi dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan metode ini deteksi kebuntingan akan cepat karena dalam waktu 22 hari setelah dilakukan IB dapat dilakukan uji ini, sedangkan deteksi kebuntingan yang umum dilakukan sekarang adalah dengan palpasi per rektal yang dapat dilakukan 2-3 bulan setelah diinseminasi. Keuntungan lain adalah terjagkau untuk kalangan peternak karena tidak membutuhkan bahan yang banyak dan biaya yang mahal. Serta tidak membutuhkan keahlian khusus seperti palpasi rektal karena dapat diterapkan pada peternakan rakyat dimana peternaka dapat melakukan sendiri. Dan telah teruji secara tepat serta akurat, bahwa menurut Hunter (1995), metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.

3.3       Jadwal Kegiatan
Tabel 2. Jadwal Kegiatan Penyuluhan di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang
Kegiatan
Bulan I
Bulan II
Bulan III
Bulan IV
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Persiapan awal
Survey lapang dan study literatur
















Pengamatan pada masyarakat sasaran
















Menyiapkan sarana prasarana
















Pembuatan variasi pola penyuluhan
















Pembuatan gambaran teknologi
















Pelaksanaan kegiatan
Penyebaran publikasi
















Pendataan peternak
















Pelatihan pada masyarakat sasaran
















Pengaplikasian inovasi
















Rapat evaluasi
















Pelaksanaan hasil evaluasi
















Laporanakhir
Pembuatan laporan akhir
















Presentasi

3.3       Media Penyuluhan
Media penyuluhan yang digunakan dalam penyuluhan ini adalah sebagai berikut.
a)         Flip Chart
Media ini digunakan untuk menjelaskan rencana strategis deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam pekat sebagai upaya dalam mengoptimalisasi biaya dalam manajemen reproduksi. Dimana petani dan perternak di Desa Nagdirejo Kec. Kromengan sebagai sasaran utama dalam penyuluhan ini. Dalam flip chart ini berisi penjelasan gambaran teknologi yang digunakan dalam prosedur deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam sulfat serta pemaparan mengenai siklus reproduksi sehingga manajemen reproduksi berjalan dengan baik.
b)             Audio Visual
Menyampaikan pesan atau informasi kepada sasaran utama yakni peternak dan calon peternak dengan menggunakan slide presentasi sehingga diharapkan sasaran akan lebih mudah dapat menerapkan pesan dengan kebutuhanya. Dan kami juga menyertakan video dalam proses deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam sufat.


DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang. 2013. Data Kecamatan Kromengan, Malang, Jawa Timur. Diakses pada tanggal 27 April 2013. http://bps.blogspot.com/2013/05/bps-data-kecamatan-kromengan-malang .html
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Jumlah Populasi Ternak  di Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang. Diakses pada tanggal 27 April 2013. http://peternakan.malangkab.go.id/
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Hardjopranoto, S. 1992. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.
Hunter, R H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi reproduksi Hewan Betina Domestik. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Iliawati, R. 2009. Efektifitas Penggunaan Berbagai Volume Asam Sulfat Pekat untuk Menguji Kandungan Esterogen dalam Urine Sapi Brahman Cross Bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian. Sijunjung.
Nugroho, C Priyo. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Klaten: Macanan Jaya Cemerlang
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta
Sayuti, Herrialfian, T. Armansyah, Syafruddin, Dan Tongku Nizwan Siregar. 2012. Penentuan Waktu Terbaik Pada Pemeriksaan Kimia Urin Untuk Diagnosis Kebuntingan Dini Pada Sapi Lokal. Jurnal Kedokteran Hewan. vol. 5 No. 1. ISSN : 1978-225X. Maret 2012.
Wahyu, Illawati, Suardi, dan Jaswandi. 2012. Efektifitas Dan Akurasi Penggunaan Berbagai Dosis Asam Sulfat (H2so4) Pekat Dibandingkan Palpasi Per Rektal Terhadap Uji Kebuntingan Ternak Sapi. Program Pascasarjana Ilmu Ternak Universitas Andalas.